Dayah-dayah di Aceh menjadi pelopor dalam pendidikan Islam yang didirikan berdasarkan tuntutan dan kebutuhan zaman. Dari dayah bermunculan ulama dan kadernya yang menjadi penentu keberhasilan dakwah dalam agama Islam.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan dayah atau pesantren sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan watak dan karakter anak bangsa.
Begitu juga dengan Lembaga pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Raya Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh didirikan seiring dengan pembangunan masjid raya di kawasan itu.
Dayah yang tersohor di belahan nusantara dan laur negari ini terletak di Gampong Mideun Jok, Kemukiman Masjid Raya, Kecamatan Samalanga atau jarak tempuh dari pusat kota Kabupaten Bireuen sekitar 47 kilometer.
Pondasi dasar dan peletakan batu pertama MUDI Mesra ini dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda, sementara pimpinan dayah pertama sekali saat itu dikenal dengan sebutan Faqeh Abdul Ghani.
Namun sayang, khasanah catatan dasar tidak tercatat oleh sejarah sampai tahun berapa Beliau memimipin lembaga pendidikan Islam itu serta siapa pengganti selanjutnya. Kemudian, pada tahun 1927 baru dijumpai secara jelas catatan sejarah yang meriwayatkan perjalanan para pimpinan dan penerus dayah ini.
Pada 1927, MUDI Mesra dipimpin oleh Al-Mukarram Tgk H Syihabuddin Bin Idris. Jumlah santri kala itu sekitar 100 orang putera dan 50 orang puteri. Seluruhnya diasuh oleh lima orang tenaga penganjar (guru) lelaki dan dua orang guru di kalangan puteri.
Awal kiprahnya, bangunan asrama tempat menampung para santri yang belajar di sana masih memanfaatkan balai-balai darurat yang dibangun dari batang bambu dan rumbia.
Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat tahun 1935, maka dayah diteruskan dan dipimpin oleh adik ipar beliau yakni Al-Mukarram Tgk H Hanafiah Bin Abbas atau lebih dikenal dengan sebutan Tgk Abi.
Di sini, jumlah santri pada masa kepemimpinan beliau sedikit meningkat menjadi 150 orang putera dan 50 orang puteri. Tapi kondisi fisik bangunan asrama dan balai pengajian tidak berbeda jauh dengan masa kepemimpinan almarhum Tgk H Syihabuddin Bin Idris.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, keberadaan dayah atau pesantren sangat berpengaruh dalam upaya pembentukan watak dan karakter anak bangsa.
Begitu juga dengan Lembaga pendidikan Islam Ma’hadal ‘Ulum Diniyah Islamiyah (MUDI) Mesjid Raya Raya Samalanga, Kabupaten Bireuen, Aceh didirikan seiring dengan pembangunan masjid raya di kawasan itu.
Dayah yang tersohor di belahan nusantara dan laur negari ini terletak di Gampong Mideun Jok, Kemukiman Masjid Raya, Kecamatan Samalanga atau jarak tempuh dari pusat kota Kabupaten Bireuen sekitar 47 kilometer.
Pondasi dasar dan peletakan batu pertama MUDI Mesra ini dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda, sementara pimpinan dayah pertama sekali saat itu dikenal dengan sebutan Faqeh Abdul Ghani.
Namun sayang, khasanah catatan dasar tidak tercatat oleh sejarah sampai tahun berapa Beliau memimipin lembaga pendidikan Islam itu serta siapa pengganti selanjutnya. Kemudian, pada tahun 1927 baru dijumpai secara jelas catatan sejarah yang meriwayatkan perjalanan para pimpinan dan penerus dayah ini.
Pada 1927, MUDI Mesra dipimpin oleh Al-Mukarram Tgk H Syihabuddin Bin Idris. Jumlah santri kala itu sekitar 100 orang putera dan 50 orang puteri. Seluruhnya diasuh oleh lima orang tenaga penganjar (guru) lelaki dan dua orang guru di kalangan puteri.
Awal kiprahnya, bangunan asrama tempat menampung para santri yang belajar di sana masih memanfaatkan balai-balai darurat yang dibangun dari batang bambu dan rumbia.
Setelah Tgk H Syihabuddin Bin Idris wafat tahun 1935, maka dayah diteruskan dan dipimpin oleh adik ipar beliau yakni Al-Mukarram Tgk H Hanafiah Bin Abbas atau lebih dikenal dengan sebutan Tgk Abi.
Di sini, jumlah santri pada masa kepemimpinan beliau sedikit meningkat menjadi 150 orang putera dan 50 orang puteri. Tapi kondisi fisik bangunan asrama dan balai pengajian tidak berbeda jauh dengan masa kepemimpinan almarhum Tgk H Syihabuddin Bin Idris.
Di mana pada masa itu bangunan asrama masih berbentuk barak-barak darurat dengan kondisi memprihatinkan.
Semasa kepemimpinan almarhum Tgk H Syihabuddin Bin Idris, pimpinan dayah sempat diperbantukan kepada Tgk M Shaleh selama dua tahun, karena beliau sendiri harus berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji serta memperdalamkan ilmu pengetahuan tentang kitab.
sumber;poros aceh
Semasa kepemimpinan almarhum Tgk H Syihabuddin Bin Idris, pimpinan dayah sempat diperbantukan kepada Tgk M Shaleh selama dua tahun, karena beliau sendiri harus berangkat ke Makkah untuk menjalankan ibadah haji serta memperdalamkan ilmu pengetahuan tentang kitab.

0 komentar:
Posting Komentar