SEPUTAR INFORMASI UNIK DI DALAM NEGERI SAMPAI LUAR NEGERI

Selasa, 26 Juli 2016

Korupsi di Aceh : Ironi Pembangunan Aceh

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta
Oleh AlmirDominasi kekuatan politik lokal Aceh telah berlangsung sejak terbitnya PP No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh dan digelarnya pemilu tahun 2009 yang telah mengakomodir partai politik lokal. Secara berturut-turut, Partai Aceh (PA) yang dianggap merepresentasikan aspirasi politik eks GAM memenangkan pemilu legislatif daerah pada 2009 menguasai 47 % suara dan 2014 mencapai 35,4 % suara. Suara Partai Aceh ini jauh mengungguli perolehan suara Partai Nasional Aceh (PNA) yang juga didirikan oleh eks kombatan GAM yang hanya mencapai 6,8% pada tahun 2014. Kader-kader eks GAM juga memenangkan sejumlah pemilihan kepala daerah di Aceh, dan menduduki jabatan-jabatan strategis dari mulai jabatan Gubernur hingga Bupati dan Walikota.
Secara teoritis, Lucyan Pye ilmuan politik menyatakan bahwa stabilitas sosial politik merupakan prasyarat yang harus dipenuhi dalam pembangunan. Kekuatan eks GAM dengan posisi mayoritas dalam pemerintahan dan legislatif di Aceh karena itu secara politik dapat menjadi landasan stabilitas politik yang penting bagi kebijakan pemerintahan.
Dengan demikian, seharusnya tidak ada hambatan politik bagi pemerintahan lokal Aceh untuk mewujudkan agenda-agenda pembangunan pro rakyat, apalagi jika kita kaitkan dengan begitu besarnya dukungan pemerintah pusat bagi Aceh dalam kerangka Otonomi Khusus.
Mengenai dana Otsus, UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pasal 183 ayat (2) menjelaskan bahwa Aceh memperoleh dana Otsus untuk jangka waktu 20 tahun. Untuk tahun pertama (2008) sampai dengan tahun kelima belas (2022) besarnya setara dengan 2% dari plafon Dana Alokasi Umum Nasional (DAUN) dan untuk tahun keenam belas (2023) hingga tahun kedua puluh (2028) besarnya setara dengan 1% plafon DAUN. Sejak tahun 2008-2015, Aceh telah menerima dana Otsus sebesar Rp. 42,2 triliun, dan mencapai Rp.163 triliun hingga tahun 2027. Dana Otsus sebagai penerimaan pemerintah propinsi Aceh sesuai Pasal 183 ayat (1) UUPA, yang ditujukan untuk membiayai pembangunan terutama pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan bagi propinsi yang berjumlah penduduk sekitar 5 juta jiwa itu. Sudah sangat jelas program prioritas pembangunan yang harus dilaksanakan di Aceh siapapun yang memegang kekuasaan.

Korupsi dan Oligarki Eks GAM

Jika kita cermati, Aceh memiliki dua modal penting untuk mewujudkan pembangunan yang diamanatkan dalam UUPA, yakni : pertama, pemerintahan lokal yang relatif stabil, dan kedua, daya dukung anggaran dari alokasi Otsus NAD yang jumlahnya cukup besar. Karena itu, tidak berlebihan jika masyarakat Aceh menaruh harapan pembangunan daerahnya yang lebih baik.
Namun, sayangnya kondisi tersebut tidak berlangsung sesuai harapan. Badan Pusat Statistik (BPS), menyatakan penduduk miskin Aceh pada bulan Maret 2015 mencapai 851.000 orang atau 17,08 %, naik dari posisi September 2014 yang mencapai 16,98%, dengan sebaran kemiskinan sekitar 157.000 orang berada di perkotaan dan 694.000 orang di perdesaan. Jumlah penduduk miskin ini mengacu pada standar rata-rata pengeluaran per bulan di bawah angka garis kemiskinan yakni sebesar Rp. 390.150/bulan di pedesaan dan Rp. 410.414/bulan untuk perkotaan. Sehingga, penduduk miskin di Aceh berada di peringkat 26 dari 34 Provinsi yang ada di Indonesia, setelah Aceh disusul Nusa Tenggara Barat, Bengkulu, Gorontalo, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat dan Papua.

Share on Facebook
Share on Twitter
Share on Google+
Tags :

Related : Korupsi di Aceh : Ironi Pembangunan Aceh

0 komentar:

Posting Komentar